Mempelajari Cinta

63 views

lensaremaja.com - Cinta seharusnya tidak perlu dipelajari. Karena cinta itu seharusnya alami, sesuai naluri kita sebagai manusia. Cinta seharusnya tidak perlu dianalisa, dibedah untuk menghasilkan teori-teori rumit. Setiap usaha untuk melogikakan dan merumuskan cinta seharusnya dianggap sebagai kegiatan yang total absurd. Karena cinta adalah perasaan suci yang seharusnya sudah dipahami oleh setiap manusia secara alami, tanpa perlu disistemisasi sebagai bidang studi. Manusia seharusnya bisa membangun hubungan cinta dengan baik tanpa perlu memiliki pengetahuan dan pelajaran apapun tentang cinta. ya, sungguh, seharusnya memang begitu.
akan tetapi,realita berkata sebaliknya:

  • Menurut penelitian dr. Boyke Dian Nugraha terhadap 200-an orang pasiennya, 4 dari 5 pria eksekutif melakukan perselingkuhan. Perbandingan selingkuh pria dan wanita pun berbanding 5:2.
  • Komisi Nasional Perempuan mencatat bahwa pada tahun 2010 ada 1.299 korban kekerasan dalam relasi pacaran.
  • Peradilan Agama Mahkamah Agung mencatat tingkat perceraian yang tinggi: sepuluh persen dari 2 juta pernikahan, terjadi 285.184 perkara perceraian. Dari angka tersebut, penyebab perceraian 91.841 karena ketidakharmonisan dalam rumah tangga, 78.407 karena tidak adanya tanggung jawab suami, 67.891 karena masalah ekonomi dan 10.029 karena perselingkuhan.

Itu baru sebagian kecil saja, masih ada banyak hal-hal yang lebih mengerikan lagi. Realitanya, kita perlu (banyak) belajar tentang hubungan cinta.
Kehidupan sehari-hari ini penuh diwarnai dengan hal-hal yang tidak seharusnya: kelalaian, kesalahan, keanehan, ketimpangan, kecacatan, dan kejutan-kejutan di luar ekspektasi. Hubungan cinta pun yang seharusnya damai, indah dan alamiah seringkali jadi periode yang penuh derita, luka dan darah.

Mulai dari sekedar hampa di dada karena rasa kesepian, sesak minder karena takut mendekati orang yang disukai, kecewa karena diberikan harapan palsu, trauma karena diselingkuhi, sampai berbagai sakit hati dan sakit fisik karena perilaku kasar yang seharusnya tidak dilakukan oleh sang kekasih tercinta.

Rasanya kita perlu untuk lebih sedikit mengoreksi diri dan menjadi realitistis dalam mempelajari cinta agar bisa terhindar dari berbagai malapetaka cinta.

PENTINGNYA BELAJAR CINTA SESUAI REALITA
Melogikakan hubungan cinta bukan berarti merendahkan arti dari cinta. Memahami prinsip mekanika jatuh cinta sama sekali tidak mempengaruhi keindahannya saat terjadi. Menciptakan sistem teori cinta tidak menjadikan kita terputus dari perasaan dan kaku hidup di dalam peraturan ini-itu. Sebuah 'sekolah cinta' tidak membuat hubungan cinta Anda jadi penuh teori yang tidak alami.

Justru sebaliknya, segala kemajuan ilmu pengetahuan tentang cinta bisa membuat kita jadi lebih dewasa dan bertanggung jawab dalam mengoperasikan hubungan cinta.

Dalam bahasa sehari-hari: semakin Anda menghabiskan banyak investasi waktu, tenaga, dan uang Anda untuk mendekati seseorang, semakin Anda akan merasa suka/cinta/sayang pada orang tersebut. Sekalipun mungkin awalnya tidak ada ketertarikan apa-apa, jika Anda terus menghabiskan banyak hal dengannya, cepat atau lambat hati Anda akan memiliki perasaan khusus padanya. Karena sesuai pepatah bijak, hati Anda ada di mana harta Anda berada.

KOK ORANG DULU BAHAGIA TANPA BELAJAR CINTA?

 

Ya benar generasi kakek-nenek dan orangtua kita biasanya menjalani hubungan cinta dengan sederhana.. tapi karena dunia mereka pada saat itu memang masih sederhana apa adanya. Semenjak akhir era 90an, dunia ini mengalami banyak sekali perubahan pola budaya dan teknologi yang mempengaruhi  dinamika hubungan cinta.

Berikut beberapa contohnya saja:

  • Dahulu pernikahan dianggap sebagai sebuah kewajiban yang selayaknya ditempuh oleh pria dan wanita dewasa. Namun kini dengan kemajuan ekonomi, pernikahan semakin bergeser menjadi sebuah pilihan, dan bahkan pelengkap fasilitas hidup yang bisa diganti-ganti kalo sudah tidak cocok lagi.
  • Nasihat orangtua jaman dahulu yang populer berkumandang adalah, “Cari yang baik dan dewasa, karena kalo soal harta bisa diusahakan bersama!” Namun kini kita lebih banyak mendengar nasihat yang berbunyi, “Ga usah mikirin mana jodohnya, fokus kerja mapan aja karena cinta itu perlu biaya!” yang semakin mendorong mundur usia untuk menikah.
  • Terbatasnya pendidikan dan kesempatan kerja memaku wanita jaman dulu pada urusan domestik. Itu sebabnya setelah lulus sekolah dan dewasa, banyak wanita dahulu yang mendesak kekasihnya untuk menikah. Jaman sekarang wanita adalah bagian yang sama pentingnya dengan pria di setiap bidang industri & bisnis. Orientasi karir menggeser keinginan untuk membina hubungan cinta dan memiliki keluarga.
  • Terhubung poin sebelumnya, wanita modern memiliki potensi finansial yang sebanding dengan pria. Itu sebabnya kini terjadi ‘pasar cinta’, yaitu masing-masing pihak bisa mencari, mengumpulkan, dan menyeleksi kandidat mana yang sesuai dengan selera. Dahulu hanya pria yang bisa aktif memiliki katalog belanja cinta, kini makin banyak wanita yang juga bisa melakukan hal sama. Pernikahan jadi kesepakatan, perceraian jadi kebiasaan.
  • Hadirnya roh feminisme gelombang kedua, ketiga, dan berbagai turunannya yang seolah mengulang ‘kejahatan dominasi’ yang dulu pria lakukan pada kaum wanita. Sulit sekali membina hubungan cinta yang sehat jika para wanita sepakat menganggap pria sebagai sosok yang jahat.
  • Kemajuan dunia fashion dan kesehatan memampukan manusia untuk lebih mempedulikan kemewahan eksterior dibandingkan kematangan interior. Hal-hal seperti kepribadian mandiri, kemampuan adaptasi, ketahanan terhadap stress, dsb kini jadi kriteria yang direlakan ketiadaannya demi meraih pencitraan yang membanggakan.
  • Dan tentu saja teknologi mengubah gaya hidup percintaan, misalnya kehadiran internet semakin mempopulerkan fenomena Long Distance Relationship, melipatgandakan potensi terjadinya hubungan multi-etnis/ras, menambah frekuensi konflik miskomunikasi antar pasangan akibat online chatting, serta tentu juga mempermudah akses perselingkuhan. Orangtua jaman dahulu jarang mengalami benang kusut demikian itu sebabnya mereka lebih mudah bahagia.

 

Cinta tidak pernah berubah, selalu sama dari dulu hingga sekarang. Namun pola interaksi manusianya yang berubah, bergeser, dan bertambah rumit. Itu sebabnya kesederhanaan membina hubungan cinta yang dialami oleh kakek-nekek dan sebagian orangtua kita adalah sesuatu yang langka terjadi di era modern ini.

Mereka tidak perlu belajar cinta karena jika hubungannya mengalami kendala, mereka terbiasa bekerjasama mencari jalan keluarnya. Pasangan modern jika mengalami kendala biasanya sibuk saling menyalahkan lalu masing-masing berusaha mencari jalan keluar.. tapi jalan keluar dalam arti sebenarnya, alias membubarkan hubungan.

Kemajuan budaya memberi banyak kenikmatan, tapi juga banyak mengacaukan dan menyabotage banyak hubungan cinta.. khususnya jika kita malas meng-update peta pemahaman kita tentang cinta. Berkonsultasi pada kakek-nenek dan orangtua seringkali bukan memberikan jawaban, malah membuat makin frustasi karena sulitnya menjelaskan kondisi hubungan jaman modern ini pada mereka.

Itu sebabnya sekolah cinta menjadi sebuah kebutuhan yang mau tidak mau terjadi di jaman modern ini. Dunia ini sudah berkembang keterlaluan cepatnya sehingga kita perlu belajar bagaimana mengoperasikan cinta di dalamnya.

PELAJARAN CINTA TERAKHIR HARI INI
Saya pikir kita perlu semakin memberanikan diri untuk keluar dari zona nyaman dan mempelajari cinta dari kacamata keilmuan modern. Akan dijelaskan satu contoh kecil berikut ini.

Berdasarkan penelitian Kent Berridge dari Universitas Michigan tentang korelasi antara kecanduan dan hormon dopamine, bermain Twitter itu bisa sangat mencandu karena tubuh kita kebanjiran hormon dopamine setiap kali kita melihat ada mention atau reply. Sebenarnya itu fenomena tidak khusus pada Twitter saja, melainkan pada bentuk interaksi apapun yang terjadi secara teks visual, seperti chatting, obrolan di Facebook, balas-membalas di email, dsb.

Seorang peneliti lain yang saya sangat kagumi, Helen Fisher dari Universitas Rutgers, juga menyatakan bahwa otak orang yang sedang mengalami jatuh cinta selalu dibanjiri dengan dopamine. Hormon itulah yang membuat saat jatuh cinta tubuh kita merasa seperti selalu energik ingin bertemu tapi sekaligus juga rileks melayang bahagia ala kecanduan obat.

Penelitian pertama satu berbicara tentang munculnya dopamine saat kita melihat balasan teks online. Penelitian kedua berbicara tentang kemunculan alami dopamine saat jatuh cinta bertujuan agar tubuh merasa efek kasmaran.

Silangkan kedua penelitian tersebut dan kini Anda lebih memahami fenomena mengapa jaman sekarang ini hubungan cinta banyak sekali berawal dari pertemanan kasual lewat media chatting dan social media. Fenomena mengapa makin banyak orang yang bisa mengaku jatuh cinta di dunia online dan jadian tanpa pernah bertemu dulu. Termasuk juga fenomena mengapa pasangan yang paling baik dan setia sekalipun bisa merasa dirinya sedang jatuh cinta pada teman chatting baru dan meninggalkan hubungan lamanya.

Ya, fenomena yang terakhir itu seharusnya tidak terjadi. Tapi demikianlah yang terjadi sehari-hari pada orang-orang di sekeliling saya. Demikianlah yang terjadi pada orang-orang di sekeliling Anda. Tentunya juga pada Anda dan saya.. jika kita terus bebal dan enggan mempelajari dinamika cinta.

Mari kita berhenti bicara cinta-seharusnya, mari kita bicara cinta-serealitanya.

 

Sumber : Lex dePraxis, www.hitmansystem.com